Kalau kita jalan-jalan ke desa, maka secara naluriah kita akan dapat membedakan mana orang kaya dan mana orang yang miskin. Dan secara naluri juga, kita akan menghormatinya secara lebih tinggi di bandingkan dengan orang biasa, apalagi miskin. Jika dengan orang yang kaya kita akan bicara secara hati-hati (takut salah), meski sebenarnya tidak akan terjadi apa-apa. Sebaliknya bila kita bicara dengan orang miskin kita cenderung bicara seenaknya dan sekenanya tanpa ada rasa takut salah omongan. Berhadapan dengan orang kaya, kita cenderung manut dengan apa yang dia katakan dan inginkan, sebaliknya dengan orang miskin kita cendering menolak atapun berseberangan pendapat, bahkan cenderung memerintah mereka. Dan si miskinpun cenderung menghormati kita, bila kita tampak kedudukannya lebih tinggi dari mereka. Gambaran tersebut, tentunya tidak hanya kita jumpai di daerah-daerah atau di desa-desa, tetapi banyak terjadi juga di seluruh negeri yang kita cintai ini. Ini terjadi secara naluriah dan mungkin tidak di Indonesia saja, tetapi di seluruh dunia.
Berkaca dari hal tersebut saya menyaksikan tampaknya ada yang salah di negeri ini. Di satu sisi, kita ingin tampak sebagai orang kaya (atau ingin di akui sebagai orang kaya). Tapi sebagian besar dari kita berkelakuan seperti orang miskin, lemah dan butuh bantuan! Dan tampaknya kita ini mudah di bodoh-bodohi orang lain! Tidak percaya? Ingin contoh? Coba saja anda jalan-jalan ke pasar tradisional. Baik yang kaya maupun yang miskin, kalau kalau beli sayuran pasti nawar! Padahal 1 kg tomat paling banter Rp. 10rb! Dan untuk 1 keluarga kita paling beli ½ kg. Cabai ½ kg paling 10 kg, dan itu juga tidak mungkin kita habiskan dalam 1 hari. Begitu juga dengan barang-barang yang lain, beras, telor, minyak, pakain, sepatu, tas dlll. Seolah-olah kita akan kehabisan uang bila kita tidak menawarnya (inilah sifat orang miskin yang takut besok tidak bs beli makanan). — Dapatkah kita membayangkan, bagaimana sayur-sayuran terebut bisa sampai ke pasar? Para petani harus banting tulang supaya panennya bisa berhasil. Para pengumpul harus naik angkutan malam-malam dalam mobil pick up terbuka, para pedagang harus pagi-pagi sekali ke pasar supaya bs memperolh sayuran yang segar dst.
Nah sekarang kita jalan-jalan ke Mall, coba kita mampir ke kasir. Apakah diantara kita ada yang berani menawar? Padahal harga-harga di sini pasti jauh lebih mahal dari pada di pasar tradisional. Inilah yang saya sebut dengan bersikap/berkelakuan sebagai orang miskin. Tidak itu saja, coba saja seandainya diumumkan di balai desa, bahwa akan ada pembagian uang sebesar Rp. 500rb, bila tidak diambil, maka haknya akan diberikan kepada fakir miskin? Saya jamin hanya sebagian kecil yang tidak diambil. Apa yang ada di dalam benak kita? Lumayan bisa buat biaya transport ke kantor 1 bulan. Parahnya lagi, lumahan basa buat biaya bensin mobil 1 minggu… Adakah dalam pikiran kita uang ini lebih baik tidak kita ambil, karena akan lebih berguna baik fakir miskin. Ini berarti menunjukkan bahwa di dalam diri kita masih tertanam naluri sebagai orang miskin. Kita merasa masih membutuhkan bantuan orang lain dari pada membantu orang lain. Kita mudah di perdaya oleh orang yang dianggap lebih kaya.
Secara kenegarawananpun, jiwa ini akan berpengaruh pada jabatan yang kita pegang. Kita ingat bagaimana ketika salah satu pulau kita dicaplok negara lain? Kita bisa berbuat apa? Kita ingat juga ketika kapal negara tetangga minginjak-injak laut kita? Apa yang kita lakukan, itu karena kita merasa lemah dan miskin.. kita ingat juga ketika Timor timur di referendum? Kita bisa berbuat apa? Itu karena kita merasa lemah dan miskin, dan itu semua sudah tertanam dalam jiwa kita sejak lama. Hal ini sebetulnya sudah disadari oleh para pejuang kita, dan puncaknya pada masa Presiden RI Pertama Ir. Soekarno. Soekarno ditakuti dan disegani oleh para negarawan lain, karena merasa dirinya kaya dan kuat (meski baru merdeka dan suasana dalam negeri yang berantakan). Perasaan inilah yang membuatnya di segani ditakuti, baik lawan maupun kawan. Mungkin Malaysia tidak akan gegabah seperti di atas jika soekarno masih hidup! Tapi tampaknya ada yang mencoba menenggelamkan lagi perasaan kaya dan kuat ini, sehingga bangsa ini kembali seperti ini lagi (MISKIN dan LEMAH).
Negara kita ini sebenarnya negara yang kaya, di laut kita punya ikan, terumbu karang, minyak, dan wisata laut. Di darat kita punya minyak, batubara, gas, panas bumi, tenaga surya, tenaga panas bumi, tenaga air, kayu, lahan yang masih luas dan bisa tanaman apa saja, tempat wisata kita sangat melimpah dan banyak, biodiversity kita sungguh gila-gilaan, supplai tenaga kerja kita melimpah dan cerdas-cerdas, konsumsi kita tinggi, baik impor maupun lokal. Tentara kita kuat, cerdas, melimpah. Rakyat kita mudah dipanggil untuk bela negara. Nah apakah kita masih merasa MISKIN dan LEMAH dan merasa bahwa negara lain lebih KAYA dan KUAT?
Mari kita berkaca pada Iran dan Korea Utara. Negara-negara ini merasa bahwa mereka adalah kuat. Meskipun barat menuduh dengan tuduhan yang belum terbukti bahwa Iran memiliki senjata nuklir, setidaknya Iran merasa bahwa dirinya kaya (akan minyak) dan kuat, kepemimpinan seperti Ahmad Dinejad dan Kim Jong Un inilah yang mungkin sedang kita butuhkan saat ini. Sebagai mana kepemimpinan Ir. Soekarno, yang merasa bahwa kita adalah bangsa yang Kaya dan Kuat, sehingga tidak mudah diutak-atik oleh bangsa lain..